Hakikat Shalat
Oleh Ahmad Dzulfikar *)
Secara leksikal kata "shalat" artinya doa. Kemudian dalam pengertiannya, shalat dinyatakan sebagai ritual yang terdiri dari ucapan dan perbuatan yang diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam. Pengertian inilah yang diterima secara luas oleh umat Islam sehingga apabila disebut kata shalat maka segera terbersit di hati mereka makna ritual agama.
Mulanya hal ini berasal dari seorang manusia yang tabiat hewaninya dirampas dan diterbangkan menuju terang-benderangnya Sidratul Muntaha. Di sana, ia bertemu dengan Allah dengan pertemuan yang sempurna. Di sanalah telah terjadi peristiwa tajalli yang luar biasa hebatnya sehingga jiwa orang tersebut dibuat takluk dalam suasana tajalli tersebut. Pada saat yang demikian, ia menyaksikan suatu peristiwa yang tidak tergambarkan oleh lisan. Jelasnya, peristiwa ini diluar jangkauan inderawi.
Selanjutnya, ia dikembalikan ke kondisinya semula (manusia seutuhnya yang dilengkapi dengan tabiat hewani). Namun, jiwanya tidak bisa tenang akibat pengembalian ini. Akibat kesan jiwa yang pernah dirasakan, tak dapat dipungkiri ia berusaha mendapatkan lagi kondisi yang pernah dialaminya bersama Sang Pencipta. Maka, mulailah jiwa kemalaikatannya mengajak segenap raganya untuk mencari lagi apa yang tidak didapatkannya sekarang ini. Kondisi inilah yang disebut pengagungan, tunduk, meunajat, dalam sebuah rangkaian ucapan dan perbuatan yang dimaksudkan untuk meraih rasa yang hilang. Untuk pertama kalinya, inilah yang dialami dan dilakukan Rasulullah SAW.
Kemudian, hal ini diikuti oleh orang lain yang mendengar berita dari orang yang dipercaya (Rasulullah SAW), bahkan dia pun menganjurkannya kepada orang lain lagi setelah dirinya menyaksikan sendiri dampak dari pengagungan tadi. Ia juga membuktikan bahwa apa yang dijanjikan oleh pembawa berita tadi adalah benar sehingga ia terus meningkatkan diri pada tingkatan kesempurnaan.
Selanjutnya, hal ini diikuti juga oleh orang lain yang diajak oleh orang yang bisa dipercaya (para nabi) untuk melakukan shalat, sementara ia sendiri tidak tahu apa maksud dan fungsinya. Pada saat yang seperti ini, sang Nabi diibaratkan sebagai orang tua yang mengurung anak-anaknya untuk diajari keterampilan yang berguna untuk dirinya. Namun, anak-anaknya benci dengan pengajaran ini.
Di samping itu, selain shalat yang dilakukannya secara rutin, orang yang dipercaya tadi juga memohon untuk dihindarkan dari bahaya, atau sebaliknya mendapatkan nikmat. Maka, hal yang paling mudah dan paling dijangkau oleh dirinya adalah menenggelamkan diri dalam rangkaian ucapan dan perbuatan yang mencerminkan pengagungan kepada Allah. Akan tetapi, kali ini ia terfokus terhadap kemauannya yang ia tuangkan shalat. Hal ini sebagaimana yang dilakukannya dalam shalat Istisqa', Istikharah, shalat Taubat, dan shalat Hajat. Inilah makna yang diisyaratkan dalam firman Allah: "Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu." (QS Al Baqarah: 153).
Selanjutnya, hal yang sama juga dilakukan oleh orang lain. Apa yang dikeluhkannya dan apa yang dikesahkannya ia tuangkan dalam shalat itu. Ia menjadikan shalat sebagai sarana untuk meminta pertolongan kepada Allah. Setiap kali ia tertimpa kesusahan, ia sampaikan keluh kesahnya kepada Allah, sehingga lama-kelamaan hal ini akan mengkristal dalam sebuah keyakinan bahwa tidak ada yang bisa menolongnya kecuali Allah. Kalau sudah demikian, ia telah sampai pada shalat daim (terus-menerus mengerjakan shalat). Allah SWT berfirman, "Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir; apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah, dan apabila ia mendapat kebaikan ia amat kikir, kecuali orang-orang yang mengerjakan shalat, yang mereka itu tetap mengerjakan shalatnya." (QS Al Ma'arij: 19—23).
Pada dasarnya, pokok ibadah shalat terdiri dari tiga perkara; (1) tunduknya hati tatkala memperhatikan keagungan dan kebesaran Allah, (2) mengungkapkan dengan lisan atas keagungan-Nya tatkala ia tertunduk dengan ungkapan yang paling fasih, dan (3) menjaga tatakrama (etika) lahir dalam ketundukannya itu.
Di antara perbuatan-perbuatan yang termasuk pengagungan ini pertama-tama berdiri dihadapan-Nya dengan menghadapkan diri kepada-Nya. Adapun yang lebih beretika lagi ialah merasa rendah di hadapan keagungan Tuhannya sehingga ia menundukkan kepalanya. Sebab, sudah menjadi tabiat yang sudah lazim di kalangan manusia dan hewan bahwa mengangkat muka merupakan tanda kecongkakan dan kesombongan, sementara menundukkan kepala adalah pertanda dari ketundukannya dan rasa takut. Inilah yang diisyaratkan dalam firman Allah: "Maka, senantiasa kuduk-kuduk mereka tunduk kepadanya. (QS Al Syu'ara: 4). Tahap etika yang lebih tinggi daripada yang kedua adalah menyembunyikan muka—anggota badan yang paling mulya serta tempat keelokan rupa manusia bersemayam—di hadapan-Nya.
Ketiga etika pengagungan ini, sebenarnya sudah berlaku sejak zaman dahulu dan tersebar di kalangan manusia. Hingga saat ini, mereka pun masih melakukannya di saat mereka shalat, mengahadap raja, atau pembesar mereka. Dengan demikian, shalat yang paling baik adalah shalat yang dilakukan dengan melakukan tiga perkara di atas secara bertahap dari yang paling rendah menuju tingkatan yang paling tinggi agar rasa ketundukkan dan merendahkan diri dapat dicapai.
Perlu diingat, dalam pendakian pengagungan (dalam shalat) hendaknya seseorang tidak langsung menuju tahapan yang paling tinggi atau berjalan menurun dari yang paling tinggi menuju pengagungan yang paling rendah. Inilah hikmah tertib dalam urutan rukun shalat.
Perlu diingat lagi, shalat hanyalah dijadikan induk dari ibadah guna mendekatkan diri kepada Allah. Artinya, shalat tidak dituntut terus-menerus setiap saat. Sebab, menurut pemikiran logis dan benar, hal tersebut hanya bisa dilakukan oleh mereka yang mempunyai jiwa yang luhur, dan mereka ini jumlahnya sedikit sekali. Adapun selain mereka, sekiranya mereka tenggelam dalam hal ini, niscaya mereka akan merugikan dirinya dan menyia-nyiakan hartanya. Di samping itu, ada hikmah-hikmah lain yang dapat diambil dari penetapan kewajiban shalat yang tidak dituntut terus-menerus. Maka dari itu, Allah s.w.t. berfirman, "Sesungguhnya shalat itu adalah fardu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman. (QS. An Nisa`: 103). Di sisi lain, amalan zikir tanpa disertai pengagungan yang konkret dengan segenap anggota tubuh dan perhatian sepenuhnya terhadap etika-etika zikir, niscaya hal ini hanya berbentuk renungan yang sepi dari faidah. Benar badannya shalat di masjid, tetapi hatinya belanja di pasar.
Shalat dapat diumpamakan sebagai adonan yang komposisinya terdiri dari bahan-bahan berikut ini:
Pertama, pikiran yang terpusat pada pengagungan Allah dengan menyampingkan maksud lain. Tidak ada larangan bagi mereka yang memiliki kemampuan lebih untuk tenggelam dalam musyahadah. Bahkan, hal inilah yang dapat membangkitkan jiwa secara sempurna.
Kedua, memanjatkan doa dengan ikhlas hanya karena Allah, mempersembahkan doa tersebut hanya kepada Allah dan hanya meminta pertolongan kepada-Nya.
Ketiga, perbuatan yang menunjukkan pengagungan, seperti sujud dan rukuk. Di saat anggota tubuh saling bertumpu satu sama lain dan saling menyempurnakan fungsi organ dan saraf, maka pada saat itu seseorang mampu membangkitkan dan memfokuskan konsentrasinya.
Dengan demikian, shalat telah mendatangkan manfaat kepada seluruh manusia, selain ia juga berfungsi sebagai penawar yang efektif agar manusia dapat mengembalikan kemampuan diri dan fitrah aslinya.
Di samping itu, shalat merupakan mi'raj seorang muslim guna mempersiapkan diri untuk menyongsong tajalli Allah SWT, kelak di akhirat nanti. Rasulullah SAW bersabda, "Ketahuilah, kalian akan melihat Rabb kalian sebagaimana kalian melihat bulan ini, kalian tidak kesulitan melihatnya. Sekiranya kalian tidak keberatan mendirikan shalat sebelum terbit matahari dan sebelum terbenamnya (maksudnya shalat Asar dan Subuh), maka lakukanlah." (HR. Bukhari, Muslim, al-Tirmidzi, Abu Daud, Ibnu Majah dan Ahmad).
Selain itu, shalat juga merupakan sebab bagi datangnya Mahabbatullah. Hal ini sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah Saw. kepada Rabiah bin Ka'ab al-Aslami ketika ia mengungkapkan keinginannya untuk menjadi pendamping beliau di surga, "Bantulah aku untuk mewujudkan apa yang engkau inginkan dengan memperbanyak sujud". (HR. Muslim, Abu Daud, Tirmidzi, Ibnu Majah, Nasai, dan Ahmad). Sementara di sisi lain, Allah SWT berfirman terkait penduduk neraka, "Mereka menjawab, 'Kami dahulu tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan shalat.'" (QS Al Muddatsir: 43).
Apabila ruh shalat telah bersemayam di hati seorang hamba, maka terpancarlah nur Allah dan terhapuslah segala dosanya. Allah SWT berfirman, "Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk." (QS Hud: 114). Maksudnya, manusia memang diberi potensi untuk menelan ruh suatu perbuatan. Orang yang sejak kecil dilatih makan dengan tangan kanan sudah barang tentu akan mengalami kesulitan jika harus makan dengan tangan kiri, dan sebaliknya pun demikian. Nah, ketika seseorang dapat menelan ruh shalat maka "Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar". (QS Al 'Ankabut: 45). Lantas, ketika seseorang sudah tercegah dari perbuatan keji dan munkar maka kebaikan-kebaikan akan muncul dari dirinya. Maka dari itu, untuk tujuan-tujuan ini shalat sunah sebagai pengiring shalat fardu dan shalat sunah lainnya diberikan. Tujuannya tidak lain agar manusia terbiasa melakukan shalat.
Tidak ada sesuatu apa pun yang lebih bermanfaat daripada menegakkan shalat, terlebih jika seseorang melaksankannya dengan ucapan dan perbuatan yang khusyuk dan disertai niatan semata karena Allah. Dan, jika shalat telah menjadi ritual resmi yang dikenal luas, maka berlomba-lomba dalam mengerjakannya tentu manfaatnya lebih jelas lagi sehingga shalat telah menjadi syiar umat Islam dan sekaligus yang membedakannya dengan orang kafir. Rasulullah SAW bersabda, "Perjanjian antara kami dan mereka (orang-orang kafir) adalah shalat, yakni barangsiapa yang meninggalkannya, maka ia telah kafir." (HR. al-Tirmidzi, al-Nasai, Ibnu Majah, dan Ahmad).
Akhirnya, tidak ada hal lain yang mampu melatih jiwa untuk tunduk kepada hati, melainkan ibadah shalat. Wallahu A'lam.[*]