I' T I K A F
Waktu Pelaksanaan I'tikaf
Bagi orang yang bernazar untuk i'tikaf, dia harus melakukannya jika nazarnya telah terpenuhi. Jika bernazar untuk i'tikaf selama satu hari atau lebih, dia wajib melaksanakannya sebagaimana yang telah diucapkannya.
Untuk i'tikaf yang sunnah, pelaksanaannya tidak dibatasi oleh waktu. I'tikaf sunnah dapat dilakukan ketika seseorang berada didalam masjid, kemudian dia berniat i'tikaf, baik dalam waktu yang lama maupun hanya sesaat. Dia memperoleh pahala selama berada didalam masjid tempat dia i'tikaf. Kemudian, jika dia keluar lalu masuk kembali kedalam masjid, hendaknya dia memperbarui niatnya, apabila masih ingin beri'tikaf.
Ya'la bin Umayah berkata, "Aku berada di masjid dalam sesaat dan aku berbuat demikian tidak lain karena aku bermaksud i'tikaf".
Atha' berkata, "Seseorang dikatakan melakukan i'tikaf selama dia berada dalam masjid dan berniat untuk i'tikaf. Jika dia duduk dimasjid dengan mengharapkan pahala, maka dia sudah sudah dikatakan telah melakukan i'tikaf. Jika tidak, maka dia tidak melakukan i'tikaf".
Seseorang yang sedang beri'tikaf yang sunnah dibolehkan menghentikan i'tikafnya kapan saja, meskipun waktu yang diinginkan belum usai.
Dari Aisyah ra., bahwa jika Rasulullah hendak i'tikaf, beliau melakukan shalat shubuh terlebih dahulu, lalu masuk ke tempat (yang disediakan untuk) i'tikaf. Suatu hari, beliau hendak i'tikaf pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan. Beliau menyuruh dibuatkan ruang khusus (*) bagi beliau. Istri-istri Rasulullah juga meminta agar dibuatkan tempat khusus untuk dipergunakan i'tikaf. Ketika Rasulullah hendak shalat shubuh, beliau melihat ruang yang dipasang itu, lantas beliau bertanya, "Apa ini ?, Apakah kebaikan yang kalian inginkan ?"
Aisyah berkata, lalu Rasulullah menyuruh agar merobohkan ruangan yang telah dibuat, istri beliau juga disuruh melakukan hal yang sama, hingga semua ruangan dirobohkan. Kemudian beliau membatalkan i'tikafnya dan mengganti pada sepuluh hari pertama di bulan Syawal.
Perintah Rasulullah kepada istrinya agar merobohkan ruangan yang telah dibuat untuk i'tikaf, meskipun mereka telah berniat melakukannya, merupakan satu dasar atas dibolehkannya menghentikan i'tikaf meskipun sudah dimulai. Hadits ini juga menegaskan bahwa seorang suami dibolehkan melarang istrinya melakukan i'tikaf dengan tanpa harus meminta persetujuan terlebih dahulu kepadanya. Inilah pendapat yang dikemukakan mayoritas ulama. Tetapi, jika suami telah memberikan persetujuan bagi mereka untuk beri'tikaf, apakah dia dibolehkan melarang istrinya setelah itu ?. Menurut Syafi'i, Ahmad, dan Daud, suami dibolehkan melarang istrinya meskipun pada awalnya dia memberikan izin kepadanya untuk beri'tikaf.
(*) Keterangan ini menjadi dalil dibolehkannya seseorang yang beri'tikaf
mengambil satu tempat didalam masjid yang akan digunakan untuk
dirinya beri'tikaf,selama tidak mengganggu orang lain.
Sebaiknya, dia mengambil tempat dibagian belakang atau disisi-sisi
masjid, supaya lebih leluasa dan bebas, serta tidak mempersempit
tempat orang lain.
[Fiqih Sunnah – Sayyid Sabiq®]