Jumat, 21 Desember 2012

Pembacaan Hadits Ba'da Maghrib 18122012

Memakamkan  Jenazah
 
Hukum  Mengecat  Makam dan Menulis  sesuatu  Padanya
           
Dari Jabir ra., ia berkata, Rasulullah SAW melarang mengapuri (mengecat) makam, duduk di atasnya dan mengecatnya.
HR. Ahmad, Muslim, Nasa'i, Abu Daud  dan Tirmidzi.
 
Tirmidzi mengatakan hadits ini shahih, dan redaksinya adalah, "Rasulullah SAW melarang mengecat makam, menulis sesuatu padanya, membangun sesuatu di atasnya, dan menjadikan tempat hajat". HR. Tirmidzi. Dalam redaksi Imam Nasa'i, "Rasulullah SAW melarang membangun di atas makam, menambahi sesuatu, mengecat, atau menulis sesuatu padanya". Mkasud kata mengecat adalah mengecat dengan warna putih atau sering dikenal dengan mengapuri.
 
Mayoritas ulama ahli fikih berpendapat bahwa larangan dalam hadits ini maksudnya adalah makruh. Sementara Ibnu Hazm berpendapat bahwa larangan ini memiliki arti haram.
 
 Ada yang mengatakan, sebab larangan ini adalah bahwasanya makam merupakan tempat mayat, bukan tempat makhluk hidup, sementara mengecatnya termasuk perhiasan dunia dan hal yang sedemikian tidak dibutuhkan mayat.
 
Ada juga yang mengatakan bahwa larangan mengecat makam disebabkan karena kapur yang dipergunakan untuk mengecat hasil dari pembakaran. Hal ini diperkuat dengan riwayat Zaid bin Arqam, ia berkata kepada orang yang ingin membangun makan dan mengecatnya dengan kapur, "Kamu telah melampaui batas. Janganlah kamu mendakatkan sesuatu yang sudah dibakar padanya".
 
Adapun memplester makam dengan tanah liat, menurut sebagian para ulama hukumnya adalah boleh. Imam Tirmidzi berkata, "Sebagian ulama, di antaranya adalah Hasan al-Basri, memperbolehkan memplester makam dengan tanah liat".
 
Imam Syafi'i berkata, "Memplester makam dengan tanah liat hukumnya boleh".
 
Jafar bin Muhammad meriwayatkan dari ayahnya bahwasanya makam Rasulullah SAW ditinggikan satu jengkal dan diplester dengan tanah liat merah dari halaman rumah dan ditaburi dengan kerikil. Diriwayatkan oleh Abu Bakar an-Najjad, dalam kitab at-Talkhish, Ibnu Hajar tidak berkomentar mengenai hal ini.
 
Membangun makam dengan batu, kayu, meletakkan mayat dalam peti jika tanah tidak dalam keadaan lembek dan berair juga dipandang makruh oleh para ulama sebagaimana halnya mengecatnya. Tapi jika tanah dalam keadaan berair dan lembek, maka mayat diperbolehkan dimasukkan kedalam peti dengan tanpa disertai hukum makruh.
 
Mughirah meriwayatkan bahwasanya Ibrahim berkata, "Para sahabat lebih suka bata yang masih mentah dan kurang suka dengan bata yang sudah dibakar. Mereka juga lebih senang dengan bambu dan kurang menyukai kayu".
 
Berdasarkan pada hadits di atas juga dapat dipahami bahwa menulis sesuatu pada makam juga dilarang, termasuk juga menulis nama mayat.
 
Setelah menakhrij hadist ini, Hakim berkata, "Sanad hadits ini shahih, tapi untuk mengamalkannya tidak wajib, karena Imam kaum Muslimin baik dari daerah timur maupun barat menulis nama mereka pada makam. Hal ini merupakan perbuatan yang diterima ulama khalaf (masa sekarang) dari ulama salaf (masa lampau)".
 
Adz-Dzahabi mengatakan bahwa perbuatan seperti ini merupakan hal yang baru (bid'ah). Dalam pandangan mazhab Hambali, larangan menulis sesuatu pada makam sebagaimana yang tercantum dalam hadits Rasulullah SAW lebih cenderung pada hukum makruh, baik tulisan yang ada berupa ayat Al-Qur'an ataupun nama mayat yang menempati makam tersebut. Dan pendapat ini disepakati oleh mazhab Syafi'i. Lebih dari itu,  mazhab Syafi'i menyatakan bahwa penulisan nama bagi para ulama atau orang yang saleh pada makamnya hukumnya adalah sunnah, karena hal ini bertujuan agar mereka tetap di kenal (generasi setelahnya).
 
Mazhab Imam Malik berpendapat jika tulisan yang ada pada nisan yang diletakkan pada dimakam berupa tulisan Al-Qur'an, maka hukumnya adalah haram. Tapi jika tulisan yang ada pada nisan hanya berupa keterangan tentang nama dan meninggal yang bersangkutan, maka hukumnya makruh.
 
Mazhab Hambali berpendapat, tulisan yang ada di nisan hukumnya haram, kecuali jika ada kekhawatiran mayat yang dimakamkan pada makam tersebut tidak dapat dikenal lagi, maka hukumnya tidak makruh.
 
Ibnu Hazm berkata, jika nama orang yang meninggal dunia ditulis pada batu nisan, maka saya tidak memandangnya termasuk hal yang makruh.
 
Dalam hadits yang telah disebutkan sebelumnya juga dapat dipahami bahwa Rasulullah SAW melarang menambah tanah pada makam yang diambilkan dari luar (tempat pemakaman). Mengenai hal ini, Baihaki menulisnya dalam bab tersendiri. Baihaki mengatakan, hendaknya tempat untuk pemakaman mayat tidak ditambahi dengan tanah dari luar (atau sekitarnya) agar tidak menjadikannya lebih tinggi.
 
Syaukani berkata, sesuai dengan redaksi hadits secara umum maksud kata ziyadah dalam hadits Rasulullah SAW, adalah menambahi tanah. Ada juga yang menafsirkan bahwa kata ziyadah maksudnya adalah menambah (memakamkan) jenazah dalam satu makam.
 
Imam Syafi'i lebih cenderung pada pendapat pertama. Ia berkata, hendaknya tempat pemakaman jenazah tidak ditambahi dengan tanah yang dikeluarkan dari galian lubang untuk memakamkan jenazah. Hal ini bertujuan agar makam tidak terlalu menjadi tinggi. Tapi jika di tambah, juga tidak maslah.
 
Fiqih Sunnah®

Tidak ada komentar: