Selasa, 19 Juli 2011

Fwd: Perdebatan Fikih Terbaik yang Pernah Saya Temukan dalam Pustaka Klasik Islami

Dari: Ahmad Dzulfikar fikar.books@gmail.com

 Pertaubatan dan Qadhâ` Ibadah

 Pembahasan ini erat kaitannya dengan orang yang meninggalkan kewajiban kemudian bertaubat. Apa mungkin kewajibannya yang telah ditinggalkan itu dapat dilakukan kembali setelah ia bertaubat? Bagaimana pula hukumnya jika ia berusaha mengganti kewajiban yang dulu pernah ia tinggalkan? Kiranya, masalah ini sangat mungkin terjadi, baik yang berkaitan dengan kewajiban kepada Allah ataupun kewajiban yang menjadi hak sesama.

Terkait pelanggaran hak Allah, hal ini dapat dicontohkan dengan orang yang sengaja meninggalkan shalat tanpa ada uzur syarak, padahal ia juga sadar bahwa shalat itu wajib dilaksankan pada waktunya. Setelah itu, ia bertaubat. Bagaimanakah hukum shalat yang ditinggalkannya itu?

Para ulama salaf berbeda pendapat dalam menanggapi permasalahan ini. Sebagian ulama menyatakan, taubatnya harus dengan perasaan sesal disertai dengan pelaksanaan ibadah shalat wajib, baik shalat wajib yang akan dilakukannya dan shalat qadhâ` sebagai ganti dari shalat-shalat yang ditinggalkannya. Pendapat inilah yang dicetuskan oleh kalangan ulama dari Empat Mazhab.

Sementara menurut pendapat para ulama yang lain, cara taubatnya adalah dengan melakukan kewajiban dan amal kebajikan lainnya di masa mendatang. Kalaupun ia berusaha mengganti ibadah wajibnya yang telah lewat maka hal itu tidak ada guna baginya, dan tidak akan diterima. Maka dari itu, melakukan qadhâ` shalat bukanlah hal yang wajib.[1] Pendapat inilah yang dianut oleh Mazhab Zhahiri dan beberapa kalangan ulama Salaf.

 

Argumen Kelompok Pertama

 

Adapun argumen yang diajukan oleh kelompok ulama yang mengharuskan meng-qadhâ` shalat yang ditinggalkan dengan sengaja adalah sebagai berikut:

Pertama, sabda  Rasulullah s.a.w., "Barangsiapa yang tertidur dari shalatnya atau ia lupa, maka hendaknya ia shalat ketika mengingatnya."[2] Apabila orang yang tertidur atau terlupa—padahal ia sama sekali tidak bermaksud meremehkan kewajiban shalat—yang meskipun demikian ia tetap diharuskan qadhâ`, maka sudah barang tentu qadhâ` shalat ini lebih wajib bagi orang-orang yang sengaja meninggalkannya karena meremehkan perkara shalat.

Kedua, sebenarnya ada dua kewajiban yang harus ditunaikan dalam kewajiban shalat; shalat itu sendiri dan pelaksanaannya yang tepat waktu. Apabila shalat tepat pada waktunya tidak dikerjakan, ini berarti tinggal shalatnya saja yang belum dikerjakan. 

Ketiga, andaikata qadhâ` menjadi wajib karena perintah yang pertama kali maka ini sudah jelas. Akan tetapi andaikata keharusan qadhâ` ini didasarkan karena terlupa atau tidur maka sudah barang tentu hal ini mengingatkan bahwa orang yang sengaja meninggalkan shalat juga harus qadhâ`.

Keempat, andaikata seseorang tidak mendapatkan atau terlewatkan kemaslahatan dari suatu perbuatan ibadah, maka ia diharuskan mendapatkan dengan semampunya dari  apa yang telah lewat atau yang tertinggal meskipun hal itu dilakukan di luar waktunya.

Kelima,  Rasulullah s.a.w. bersabda, "Jika aku melarang kalian dari sesuatu maka jauhilah, dan apabila aku perintahkan kalian dengan sesuatu maka kerjakanlah semampu kalian."[3] Orang yang meninggalkan shalatnya ini memang mampu meakukan shalat di luar waktunya, yang pada masa telah lewat ia meninggalkan shalat tersebut. Dengan demikian, meskipun ia sudah telat mengerjakannnya, tetapi ia tetap dituntut mengerjakan shalat semampunya.

Keenam, bagaimana mungkin hukum syarak memberi dispensasi kepada orang yang sengaja meremehkan perkara shalat, yang dengan itu ia telah durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya, sedangkan di sisi lain syarak mewajibkannya kepada orang melewatkan shalatnya karena terlupa atau tertidur?

Ketujuh, shalat yang dilakukan di luar waktu adalah ganti dari shalat yang dilakukan pada waktunya. Jika suatu ibadah dinyatakan ada gantinya, sementara untuk melakukan yang asli dari ibadah itu adalah hal yang tidak mungkin, maka jadilah ganti itu menempati posisi asli. Hal ini dapat dicontohkan dengan tayamum sebagai ganti wuduk, shalat dengan duduk bagi orang yang tak mampu berdiri, memberi makan bagi orang yang tua renta sebagai ganti puasa, dan banyak lagi hal-hal yang seperti ini dalam aturan syarak.

Kedelapan, shalat adalah ibadah yang menjadi hak Allah dan dibatasi oleh waktu. Maka, melewatkan waktu shalat tanpa mengerjakannya hingga waktunya habis bukan berarti kewajiban shalat itu gugur begitu saja. Akan tetapi, orang yang meninggalkan harus mengerjakanya meskipun di luar waktu shalat. Ini tak ubahnya membayar utang yang meskipun telat tetap dianggap membayar utang.

Kesembilan, meskipun seseorang sengaja meninggalkan shalat telah berbuat dosa, ini bukan berarti kewajiban shalat gugur darinya. Dengan kata lain, ia harus meng-qadhâ` shalatnya. Hal ini seperti orang yang mengakhirkan pembayaran zakat, yang meskipun ia berdosa ia tetap harus mengeluarkan zakatnya. Atau, ia mengakhirkan waktu haji, yang meskipun ia berdosa ia tetap harus melaksnakaan tahun depan.

Kesepuluh, andaikata seseorang sengaja mengakhirkan shalat Jumat hingga imam selesai salam adalah orang yang berdosa, maka ia harus tetap shalat Zuhur. Shalat Zuhur yang dilakukan sebagai ganti Jumatan ini sama halnya dengan shalat Subuh yang dikerjakan setelah matahari terbit, sementara shalat Jumat yang ditinggalkan itu adalah shalat Subuh yang seharusnya ia kerjakan sebelum matahari terbit.

Kesebelas, Nabi Muhammad s.a.w. juga pernah meninggalkan shalat Asar, yang kemudian ia melakukan shalat tersebut di saat matahari telah tenggelam. Peristiwa itu terjadi pada saat Kaum Muslimin menggali parit untuk menghadapi Perang Ahzab (Perang Khandzaq).[4] Hadis ini menunjukkan bahwa melakukan shalat di luar waktu adalah hal yang mungkin dilakukan, entah itu karena shalat yang sengaja ditinggalkan atau karena ada uzur syarak. Hal yang sama juga pernah dilakukan Sahabat ketika sampai di Bani Quraizhah. Sesampainya di sana mereka shalat Asar di saat matahari telah tenggelam. Baik mengakhirkannya karena ada uzur atau memang sengaja meninggalkan shalat, pada dasarnya keduanya sama-sama meninggalkan shalat pada waktunya. Hanya saja, yang membedakan keduanya adalah dosa atau tidaknya. Adapun dalam hal memenuhi kewajiban juga harus sama-sama dipenuhi. Artinya, baik yang dikerjakan tepat pada waktunya atau yang dikerjakan di luar waktu sama-sama harus dilaksanakan.

Keduabelas, andaikata shalat Asar di Bani Quraizhah tidak dapat dilaksanakan sebagaimana yang diperintahkan kepada para Sahabat, niscaya Rasulullah s.a.w. juga tidak akan memerintahkan mereka melakukan shalat sebelum mereka sampai di Bani Quraizhah. Akibat dari perintah Rasulullah ini, memang sebagian Sahabat ada yang mematuhinya dan ada pula yang shalat di perjalanan. Akan tetapi,  Rasulullah s.a.w. tidak menyalahkan ijtihad kedua kelompok Sahabat ini.

Ketigabelas, setiap orang yang bertaubat mempunyai jalannya masing-masing. Lantas, mengapa jalan itu ditutup dengan tidak dibolehkannya seseorang yang sengaja menyia-nyiakan begitu saja kewajibannya? Tentu, hal ini tidak sesuai dengan kaidah syarak, hikmah, serta rahmat diberlakukan syariat bagi seluruh umat manusia.

 

Argumen Kelompok Kedua

 

Demikianlah beberapa argumen yang dapat diberikan untuk memperkuat dibenarkannya qadhâ` shalat.

Berikut ini argumen yang dinyatakan oleh kelompok ulama kedua (Mazhab Zhahihri dan beberapa ulama Salaf).

Pertama, apabila suatu ibadah yang pelaksanaannya disertai dengan ketentuan waktu, maka ibadah tersebut tidak sah kecuali dilaksankan pada waktu yang ditentukan. Jadi, ibadah yang dilaksanakan di luar waktu bukanlah ibadah yang diperintahkan.

Kedua, melakukan ibadah di luar waktu yang telah ditentukan sama halnya melakukan shalat tidak menghadap kiblat, sujud dengan pipi sebagai ganti jidat, atau duduk memegangi lutut sebagai ganti rukuk.

Ketiga, apabila pelaksanaan suatu ibadah disyaratkan pada tempat dan waktu tertentu, maka ibadah tidak sah kecuali dengan ketentuan tempat dan waktu. Seandainya tempat ibadah dipindah ke tempat lain, maka melaksanakan ibadah di tempat yang dipindah itu bukanlah ibadah yang diperintahkan. Jadi, melakukan manasik, wukuf, dan melempar jamarât (tempat-tempat melempar) tidak sah melainkan di tempat-tempat yang telah ditentukan. Demikian halnya memindahkan ibadah di waktu yang tidak semestinya juga merupakan hal yang menjadikan ibadah tidak sah, yang pada kelanjutannya juga tidak akan berpengaruh untuk meringankan beban dosa.

Keempat, melakukan shalat wajib bukan pada waktnya sama halnya memindah tempat wukuf dari Padang Arafah atau memindahkan mabit dari Muzdalifah ke tempat yang lain. Demikian halnya, memindah bulan pelaksanaan haji ke bulan-bulan yang lain.

Kelima, apabila qadhâ` shalat dibenarkan, lantas apa bedanya memindahkan shalat Asar pada tengah malam, melakukan puasa Ramadhan di bulan Syawal atau melakukan haji di Bulan Muharram? Bagaimana mungkin kita menganggap puasa, shalat dan haji ini sah? Sudah barang justru ibadah-ibadah yang seperti ini merupakan perbuatan maksiat yang sedikit pun Allah tidak memerintahkannya.

Keenam, hak-hak Allah yang dibatasi waktu tidak bisa digantikan dengan waktu-waktu yang lain. Demikian halnya melakukan shalat sebelum waktunya juga tidak sah apa dilakukan setelah waktunya lewat. Andai seseorang dibenarkan puasa Ramadhan di bulan Syawal, mestinya ia juga dibenar puasa Ramadhan di bulan Sya'ban.

            Ketujuh, malam mempunyai haknya sendiri dan siang pun mempunyai haknya tersendiri. Masing-masing tak boleh ditukar-tukar dengan yang lain. Maka dari itu, Abu Bakar r.a. berpesan kepada Umar r.a. yang kemudian wasiat ini diterima secara luas di kalangan para Sahabat. Beliau berkata, "Ketahuilah, Allah s.w.t. memiliki hak yang harus ditunaikan di waktu malam yang tidak boleh ditukar penunaiannya di waktu siang, dan hak di waktu siang yang tidak boleh ditukar penunaiannya di waktu malam."

Kedelapan, oleh karena syarak telah menentukan waktu pelaksanaan suatu ibadah, maka apabila waktu yang telah ditentukan telah lewat, ibadah tersebut tidak tersisa sedikit pun. Dengan demikian, ibadah yang dilakukan di luar waktu bukanlah ibadah yang diperintahkan. Shalat Asar, misalnya, andaikata seseorang mengerjakannya setelah matahari tenggelam, maka ia bukan lagi mengerjakan shalat Asar. Akan tetapi, yang banar ia melakukan shalat 4 rakaat yang persis dengan shalat Asar, dan ini bukan berarti ia melakukan shalat Asar.

Kesembilan,  Rasulullah s.a.w. bersabda, "Barangsiapa meninggalkan shalat Asar sungguh hapuslah amalnya."[5] Dalam redaksi yang lain juga disebutkan, "Barangsiapa yang kehilanghan shalat Asar (berjamaah )maka ia seperti orang yang kehilangan keluarga dan hartanya."[6] Dua hadis ini menunjukkan, andaikata ada jalan lain atau cara lain untuk menggantinya, niscaya amalnya tidak terhapus dan keluarga atau hartanya juga tidak hilang, dengan artian ibadah pengganti yang dilakukannya itu sah dan diterima. Bukankah menurut kalian (para ulama yang mengharuskan qadhâ` shalat yang sengaja ditinggalkan) dosa melewatkan shalat hingga keluar waktu tidak dapat ditebus dengan mengerjakannya di luar waktu?

Kesepuluh, jelas sudah bahwa shalat qadhâ` yang dilakukan seseorang bertentangan dengan nas Syâri'. Dengan demikian, tidak ada alasan lagi untuk mengatakan bahwa qadhâ` shalat yang sengaja ditinggalkan itu sah. Hal ini sebagaimana yang ditangkap secara jelas dari hadis Aisyah r.a., bahwasannya  Rasulullah s.a.w. bersabda, "Barangsiapa mengamalkan suatu perkara yang tidak kami perintahkan, maka ia tertolak." Sementara dalam redaksi lain juga diriwayatkan, "Siapa yang membuat perkara baru dalam urusan kami ini yang tidak ada perintahnya maka perkara itu tertolak". [7] Jelas sekali dengan melakukan qadhâ` berarti seseorang telah melakukan ibadah yang tidak diperintahkan, yang dengan demikian ibadah tersebut tertolak.

Kesebelas, apabila waktu dijadikan sebagai syarat bagi gugurnya suatu dosa dengan melaksanakan ibadah pada waktunya, maka ia sama halnya dengan syarat-syarat lain yang membuat suatu ibadah sah, seperti; menutup aurat, bersuci dan menghadap kiblat bagi orang yang shalat.[8] Dengan demikian, antara syarat dan bentuk ibadah yang dilakukan merupakan satu kesatuan yang juga diperintahkan. Bagaimana mungkin antara syarat dan bentuk ibadah ini dapat dipisahkan, padahal keduanya juga sama-sama diperintahkan?

Keduabelas, kami tidak melihat adanya dalil yang dinyatakan oleh orang-orang yang mengharuskan qadhâ` dari nas syarak maupun ijmak, bahkan kiyas yang benar pun sulit untuk diterima dalam hal ini.

 

Bantahan yang Dikemukakan Kelompok Kedua

 

Maka dari itu, baiklah akan kami[9] sebutkan dalil kiyas yang mereka gunakan dan selanjutnya akan kami bantah argumen-argumen yang mereka ungkapkan.

Berikut ini bantahan para ulama yang tidak mewajibkan qadhâ`:

-          Dalam Musnad Ahmad dan kitab hadis lainnya, Abu Hurairah r.a. meriwayatkan bahwasannya Rasulullah s.a.w. bersabda, "Barangsiapa berbuka (membatalkan puasa) satu hari pada bulan Ramadhan bukan karena uzur  (yang dibolehkan oleh Allah s.w.t.), maka satu hari itu tidak akan dapat diganti meskipun dengan berpuasa satu tahun."[10] Berdasarkan hadis ini, bagaimana mungkin seseorang yang puasanya sengaja ia batalkan itu dapat diganti di hari yang lain?

-          Juga berdasarkan hadis ini dapat dinyatakan beberapa hal berikut: Pertama, kalaupun suatu ibadah dinilai sah karena memenuhi syarat, maka sudah barang tentu ibadah qadhâ` bukanlah ibadah yang memenuhi syarat, yang dengan demikian ibadah qadhâ` itu tidak sah. Kedua, sementara dari sisi lain jika suatu ibadah dinyatakan sebagai ibadah yang ada qadhâ`-nya, maka ibadah qadhâ` itulah yang akan menggugurkan kewajiban. Sementara dalam kasus puasa ini, tidak ada satu pun ada nas yang menyatakan bahwa seseorang yang sengaja membatalkan satu hari puasa Ramadhan dapat diganti atau di-qadhâ` dengan puasa di hari yang lain. Ketiga, apabila dipastikan bahwa qadhâ` dimaksudkan untuk membebaskan diri dari tanggungan dosa, maka tidak ada satu dalil pun yang menetapkan dan memerintahkan bahwa qadhâ` harus dilakukan sebagai pembebasan diri dari tanggungan.

-          Di sisi lain lagi, ibadah yang sah adalah ibadah yang diridai dan diterima oleh Syâri'. Tentunya, sah atau tidaknya ibadah ini didasarkan pada informasi dari Syâri' bahwa ibadah itu sah dan sesuai dengan ketentuan. Adapun dalam ibadah qadhâ` dua hal ini jelas-jelas tidak ada. Nah, bagaimana mungkin kita dapat menyatakan bahwa ibadah qadhâ` itu sah?

-          Dengan demikian, dapat dinyatakan bahwa sah atau tidaknya suatu ibadah harus dikembalikan kepada aturan yang dicanagkan Syâri'. Jadi, ibadah itu dianggap sah apabila diketahui ibadah tersebut sesuai dengan aturan syarak. Adapun ibadah qadhâ` sama sekali tidak memenuhi dengan aturan syarak.

-          Yang paling buruk justru adalah anggapan yang menyatakan, apabila uzur membolehkan qadhâ`, atau katakanlah uzur tersebut menjadi dasar dari adanya izin qadhâ`, maka ini sama halnya menetapkan sesuatu dengan kebalikannya. Sudah barang tentu mengkiyaskan suatu perkara dengan kebalikannya merupakan kiyas yang paling rusak. Berikut penjelasannya:

Dalil yang kalian kemukakan—hadis dengan redaksi "Barangsiapa yang tertidur dari shalatnya atau ia lupa, maka hendaknya ia shalat ketika mengingatnya" [11]merupakan hasil kiyas yang sangat batil apabila kalian mengharuskan qadhâ` bagi orang yang meremehkan atau sengaja meninggal ibadah wajib. Jelas sekali, argumen ini justru akan membuat kalian lebih tersudut daripada memperkuat pendapat kalian. Dalam kasus orang tidur dan lupa, Syâri' memang menjadikan dua kondisi ini sebagai syarat dibolehkannya melakukan melakukan ibadah di luar waktu. Dengan kata lain, ada dan tidaknya qadhâ` bergantung dari ada dan tidaknya lupa dan/atau tidur. Jika demikian halnya, maka yang tersisa bagi kalian adalah mengkiyaskan orang yang sengaja melanggar ibadah dengan orang yang melanggar ibadah karena uzur dan memang direstui Allah. Ternyata, kiyas yang kalian terapkan ini salah, sebab dalam hadis sahih  Rasulullah s.a.w. bersabda, "Tidaklah dikatakan mengakhirkan (meremehkan) shalat karena ketiduran, hanyasanya meremehkan (shalat) itu bagi orang yang tidak menunaikan shalat hingga tiba waktu shalat yang lain."[12]  Lantas, kiyas manakah yang lebih salah daripada kiyas yang seperti ini?

-          Kalau diperhatikan, orang yang ketiduran hingga melewati waktu shalatnya dan melakukan qadhâ`, maka secara fakta ia adalah orang yang mengerjakan shalat tepat waktu berdasarkan perintah Syâri'. Hal ini didasarkan, ketika Syâri' menjadikan waktu, yang meskipun itu sebenarnya di luar waktu shalat, maka waktu itulah yang ditetapkan secara khusus bagi orang yang terlupa dan tertidur. Rasulullah s.a.w. bersabda, "Barangsiapa yang tertidur dari shalatnya atau ia lupa, maka hendaknya ia shalat ketika mengingatnya. Maka (ketika ia ingat) itulah waktu shalatnya, karena Allah s.w.t. berfirman, '... Dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku. (Thâhâ: 14).'"[13]        

Menurut kebanyakan ahli nahwu, huruf "lam" yang terdapat dalam redaksi "Lidzikrî [untuk mengingat Aku]" adalah "lam" waqtiyyah (menunjukkan kondsi waktu), yang kalau dizahirkan menjadi "saat mengingat Aku" atau "pada saat mengingat Aku".

-          Bahkan, ketika Rasulullah s.a.w. telat bangun setelah terbitnya matahari di suatu lembah yang beliau menjadikannya sebagai tempat istirahat, shalat yang beliau lakukan itu adalah shalat tepat waktu. Dengan artian shalat yang dilakukan beliau adalah shalat adâ` (menunaikan tepat waktu), bukannya qadhâ`.

-          Waktu shalat terbagi menjadi tiga kelompok. Pertama, orang yang terjaga dan tidak ada uzur mempunyai 5 waktu sesuai shalat waktu fardu yang telah ditentukan. Kedua, orang yang terjaga dan mengalami uzur mempunyai 3 waktu; waktu Asar dan Zuhur yang dijadikan satu, waktu Maghrib dan Isak yang dijadiakan satu, dan waktu Subuh. Dengan demikian, orang yang terjaga dan mempunyai uzur waktunya shalatnya hanyalah tiga. Jadi, seandainya ia mengerjakan shalat Zuhur di waktu Asar maka bukan berarti ia mengerjakannya di luar waktu. Ketiga, waktu nonmukalaf yang disebabkan tertidur dan/atau terlupa. Baginya, waktu shalatnya sama sekali tidak dibatasi. Dengan artian, jika memang ia tertidur atau terlupa maka ketika ia bangun dan ingat shalat, maka seketika itulah waktunya. Tegasnya, inilah waktu-waktu yang didasarkan terhadap dalil syarak dan kaidah-kaidahnya. Pertanyaanya, di waktu manakah orang yang menganggap remeh atau sengaja meninggalkan shalatnya ini diletakkan jika ia memang harus melaksanakan shalat qadhâ`?

-          Allah s.w.t. mencanangkan ketentuan qadhâ` puasa Ramadhan bagi orang yang membatalkan puasa karena terpaksa, bepergian, haid, dan sakit, sementara sedikit pun Dia tidak mencangangkan perintah qadhâ` bagi orang yang sengaja membatalkan puasanya tanpa uzur, entah itu yang dinaskan, diisyaratkan, atau disarikan dari pemahaman nas. Sementara, yang kalian terapkan ini justru memaksakan orang yang sengaja melanggar dengan orang yang mempunyai uzur, padahal keduanya jelas berbeda. Padahal, Syâri' pun jelas-jelas menyatakan bahwa puasa setahun penuh tidak akan menyamai satu hari puasa Ramadhan. 

-          Kalian menyatakan bahwa orang yang menjalankan suatu ibadah mempunyai dua kewajiban, yaitu melakukan ibadah itu sendiri dan pelaksanaannya yang tepat waktu. Kemudian, kalian juga menyatakan, jika salah satunya ditinggalkan maka masih ada satu kewajiban yang tersisa, yaitu melaksanakan wujud ibadah itu sendiri. Dalam hal ini, kami menyatakan hal yang demikian itu bisa terjadi apabila ibadah tersebut tidak ada kaitannya dengan waktu yang dijadikan syarat sah suatu ibadah. Orang yang diperintahkan melaksankan haji dan membayar zakat, misalnya, sudah barang tentu jika ia meninggalkan salah satunya yang lain tidak gugur. Akan tetapi, apabila masing-masing perintah itu terkait oleh hubungan syarat dari yang lain, maka untuk melakukannya pun juga harus melakukan perintah lain yang memang ia dijadikan syarat keabsahannya. Bagaimana mungkin, seorang dinyatakan ibadahnya sah sedangkan ia tidak memenuhi persyaratannnya? Mana perintah Allah yang menunjukkan demikian? Apa ada perintah Syâri' yang demikian itu?

-          Benar kami juga menyatakan bahwa qadhâ` juga harus dilakukan, tetapi hal ini didasarkan pada adanya perintah kedua (perintah qadhâ` setelah perintah adâ`). Adapun masalah yang kita perdebatkan ini, sedikit pun tidak ada perintah qadhâ`-nya. Kalau kalian mengkiyaskan masalah ini dengan ijmak, maka sebagaimana yang telah kami paparkan hal itu jelas tidak bisa. Benar kami menyatakan bahwa perintah qadhâ` itu didasarkan juga pada perintah yang pertama (perintah adâ`), tetapi adanya qadhâ` itu hanya akan sah bila memang ada guna dan kemaslahatannya seperti melaksankan adâ`, seperti qadhâ` puasa yang dilakukan oleh orang yang sakit, bepergian atau haid atau qadhâ` shalat yang dilakukan oleh orang yang tertidur atau pingsan. Adapun qadhâ` yang tidak menggugurkan kewajiban dan bukan karena adanya uzur sedikit pun Syâri' tidak menjelaskan ketentuannya dalam perintah kedua (perintah qadhâ`), apalagi dalam perintah adâ`. Lalu, mengapa kalian mengkiyaskan dua hal yang memang jauh berbeda? Kiyas yang kalian sampaikan itu jelas-jelas berbeda antara washf mu`atstsir[14] antara far' dan ashl-nya.

-          Benar kalian menyatakan bahwa apabila maslahat yang tidak seutuhnya dapat diraih, maka maslahat itu pun tidak seharusnya ditinggalkan semua. Akan tetapi, apa yang kalian nyatakan itu hanya berlaku apabila suatu maslahat ibadah itu tidak hilang. Sementara itu, mengganti ibadah di luar waktu yang menjadi syarat sahnya ibadah adalah hal yang tidak mungkin, kecuali dengan perkara lain, yaitu taubat, memperbanyak amal saleh dan dan kesunahan. Adapun mengganti dengan hal yang sama maka sekali-kali tidak.

-          Adapun hadis Rasulullah s.a.w. "Apabila aku memerintahkan kalian maka kerjakanlah semampu kalian", maka hadis ini sangat jauh dari tema yang kita bicarakan. Hadis ini hanya sebagai dalil dalam kasus seseorang yang apabila ia tidak mampu melaksankan shalat dengan berdiri, ia boleh melaksanakannya dengan duduk. Dengan kata lain, hadis menunjukkan bahwa seseorang yang tidak mampu melaksanakan perintah secara sempurna ia boeh melaksanakannnya sesuai dengan kemampuannya, yang kemudian berdampak pada gugurnya kewajiban. Adapun kewajiban yang ditinggalkan dengan sengaja disertai unsur peremehan—sehingga waktu yang menjadi syarat sahnya habis—sedikit pun tidak tercakup dalam makna hadis ini. Kalaupun ada hadis yang menyatakan demikian maka itu pun diserupakan dengan orang yang dirampas harta dan keluarganya sehingga ia tidak mempunyai apa-apa lagi.

-          Menurut kalian, bagaimana mungkin hukum syarak memberi dispensasi kepada orang yang sengaja meremehkan perihal shalat, yang dengan itu ia telah durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya sedangkan di sisi lain syarak mewajibkan kepada orang yang terlewat tidak melakukan shalat karena terlupa atau tertidur. Akan tetapi, menurut kami, pernyataan itu jauh dari kebenaran dan nyata-nyata salah. Orang yang meng-qadhâ` shalatnya karena tertidur atau terlupa pada hakikatnya ia mengerjakan shalat tepat waktu, sementara shalat qadhâ` yang dilakukan oleh orang yang sengaja dan meremehkan kewajiban shalat tidak sama dengan orang yang lupa atau tidur. Benar kami pun tidak menggugurkan qadhâ` bagi orang yang sengaja melanggar dan meremehkan shalat, tetapi kami hanya menyatakan kalaupun toh qadhâ` shalat itu dilakukan maka qadhâ` itu tak ada gunanya, tidak sah dan tidak diterima, bahkan diperintahkan pun tidak. Dengan kata lain, tidak ada satu jalan pun untuk memperbaiki kesalahannya yang telah lalu. Sekarang, apa ini yang dinyatakan sebagai keringanan syarak?[15]

-          Menurut kalian, shalat yang dilakukan di luar waktu adaah ganti dari shalat yang dilakukan pada waktunya. Jika suatu ibadah dinyatakan ada gantinya, sementara untuk melakukan yang asli dari ibadah itu adalah hal yang tidak mungkin, maka jadilah ganti itu menempati posisi asli. Akan tetapi menurut kami, apa yang kalian ungkapkan itu justru mengulangi masalah yang sedang kita perdebatkan. Kalau ini yang menjadi perdebatan kita, coba datangkanlah dalil yang menunjukkan qadhâ` shalat orang yang sengaja ditinggalkan sebagai shalat yang sah!? Atau datangkanlah dalil yang menunjukkan bahwa shalat yang sengaja ditinggalkannya itu ada gantinya!? Atau datangkanlah kepada kami mana perintah nas Syâri' yang menyatakan demikian!? Sudah tentu kalian tidak akan mendapatkan dalil dan buktinya bukan! Adapun sesuatu yang dinyatakan sebagai ganti maka hal ini dinyatakan oleh Syâri' seperti; tayamum sebagai ganti wuduk bagi orang yang tidak boleh terkena air dan membayar fidyah puasa karena tak mampu melakukannya. Sekarang mana buktinya jika Syâri' memberikan ibadah pengganti dari shalat yang dilanggar dengan sengaja? Nah, sekarang jelas terbukti bahwa kiyas yang kalian terapkan itu benar-benar salah!

-          Jika kalian mengkiyaskan dengan orang membayar utang, yang kapan saja ia boleh membayarnya sesuai kemampuan, maka dari sudut pandang ini perlu dikaji ulang. Orang yang membayar utang tidak dibatasi temponya, yang dengan demikian kita dapat menyatakan bahwa mengembalikan utang tidak dibatasi oleh waktu, tetapi akan lebih baik secepatnya utang itu dibayar jika ia memang mampu. Ini tak ubahnya seperti kewajiban haji dan zakat. Dari sini dapat dinyatakan, kalaupun ia telat mengerjakan kewajiban haji dan zakat atau  membayar utang, maka ia bukanlah orang yang menunaikan atau melaksankan di luar waktu. Benar jika dinyatakan bahwa waktu pertama (waktu yang disegerakan pengerjaannya) merupakan waktu yang paling utama, tetapi kalau ia mengerjakannya di akhir waktu maka hal itu bukanlah qadhâ`, tetapi tetap adâ`.

Tanya: apa yang Anda katakan terkait qadhâ` puasa Ramadhan yang diberi tempo sampai Ramadhan mendatang. Dengan kata lain mengapa orang tersebut tidak boleh melewatkan qadhâ` puasanya hingga melampaui Ramadhan yang akan datang? Padahal, sebagaimana yang difatwakan oleh para Sahabat, andai ia tetap melewatkan Ramadhan mendatang tanpa melakukan qadhâ`, ia tetap diharuskan qadhâ` puasa dan membayar fidyah. Ini menunjukkan bahwa ibadah yang dibatasi waktu tidak begitu saja gugur meskipun sudah habis waktunya.

Jawab: Syâri' telah membedakan antara hari-hari puasa Ramadhan dengan hari-hari qadhâ` puasa Ramadhan. Syâri' menjadikan bulan Ramadhan sebagai syarat puasa wajib yang awal dan akhirnya telah ditentukan. Dengan kata lain, jika puasa yang  dimaksudkan adalah pauasa Ramadhan, maka seseorang tidak sah berpuasa sebelum atau sesudah bulan Ramadhan. Di sisi lain, Syâri' memebaskan waktu qadhâ` puasa Ramadhan ini. Allah s.w.t. berfirman, "Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa, (yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain." (Al-Baqarah: 183—184).

Allah s.w.t. membebaskan penggantian 'iddah (jumlah hari yang ditinggalkan) tanpa membatasinya. Ini menunjukkan, qadhâ` puasa Ramadhan dapat dilakukan kapan saja, dan tidak ada satu pun keterangan yang datang dari Allah dan Rasul-Nya, bahkan ijmak Kaum Muslimin juga tidak menyatakan bahwa qadhâ` di hari apa saja—selain Ramadhan—tidak sah. Dalam masalah ini, yang ada hanyalah atsâr Aisyah r.a. Beliau berkata, "Dulu, aku pernah mempunyai utang puasa Ramadhan yang seharusnya segera aku tunaikan. Akan tetapi, aku baru bisa meng-qadhâ`-nya dibulan Sya'ban karena sibuk melayani  Rasulullah s.a.w."

-          Atsâr riwayat Aisyah r.a. tidak menunjukkan secara jelas masa pelaksanaan qadhâ` puasa yang ditinggalkan sebagai puasa yang sudah harus dikerjakan sebelum Ramadhan yang akan datang. Beda halnya dengan penentuan bulan Ramadhan, secara jelas Syari' menyatakan bahwa bulan itu berada di antara dua hilal. Maka, anggapan salah masa antara dua Ramadhan (Ramadhan yang telah lewat dan Ramadhan yang akan datang) sebagai maksud lafaz "Ayyâm Ukhar [hari-hari yang lain]" bagi pelaksanaan qadhâ` puasa Ramadhan merupakan hal yang tak bisa diterima. Beda halnya jika hari-hari qadhâ` tersebut ditafsiri dengan cara memadukan dua pengertian yang secara jelas Allah s.w.t. membedakan keduanya. Pertama, Dia membatasi hari-hari puasa Ramadhan. Artinya, awal dan akhir bulan Ramadhan tidak boleh dimajukan atau diundur. Kedua, Dia membebaskan hari-hari qadhâ` puasa dilaksanakan. Hal ini kemudian dipertegas dengan redaksi "Ukhar [yang lain]". Hanya saja para para ulama kalangan Sahabat memfatwakan bahwa orang yang meng-qadhâ` puasanya bulan Ramadhan yang lalu setelah bulan Ramadhan mendatang harus membayar fidyah di samping juga menunaikan qadhâ` puasanya. Menurut mereka fidyah ini dimaksudkan untuk menutupi qadhâ` puasa yang seharusnya dilaksankan sebelum Ramadhan datang. Sementara itu, seandainya seseorang melakukan qadhâ` puasa setelah Ramadhan berikutnya maka puasanya itu tetap sebagai qadhâ` puasa dari puasa Ramadhan yang ditinggalkan. Dengan demikian, puasa qadhâ` yang dilakukannya, baik sebelum Ramadhan berikutnya ataupun sesudahnya, tetap merupakan puasa qadhâ`. Hal ini berbeda jauh dengan hari-hari Ramadhan yang memang dibatasi—awal dan akhirnya—oleh dua hilal.

Kiranya hal ini dapat diperjelas lagi. Seandainya seseorang sengaja membatalkan puasanya di bulan Ramadhan tanpa uzur yang dibenarkan, niscaya ia tidak mendapatkan ganti dari puasa yang dibatalkannya itu. Sebaliknya, andaikata seseorang membatalkan qadhâ` puasa Ramadhan di suatu hari maka ia dibolehkan untuk meng-qadhâ`-nya kapan saja.

Hal ini disebabkan, orang yang mempuyai uzur kewajiban puasanya bukan di hari yang telah ditentukan, tetapi ia dibebaskan untuk meng-qadhâ`-nya di hari kapan saja di luar Ramadhan. Beda halnya dengan orang yang tidak mengalami uzur, maka hari puasa wajibnya adalah sebagaimana hari bulan Ramadhan yang telah ditentukan untuknya, dan hari yang telah ditentukan itu tidak dapat diganti dengan hari yang lain.[16]

-          Terkait orang yang sengaja meninggalkan Jumatan, dalam hal ini kami memfatwakan bahwa ia wajib melakukan shalat Zuhur, sebab ia diwajibkan antara dua shalat; kalau tidak Jumatan, ya shalat Zuhur. Tagasnya, salah satunya harus ia kerjakan. Seandainya ia benar-benar meninggalkan Jumatan maka ia masih tetap berkewajiban shalat Zuhur. Jelasnya, meskipun ia meninggalkan Jumatan, tetapi ia masih terkena kewajiban menunaikan apa yang telah ditentukan dalam waktu Zuhur.

-          Terlebih bagi para ulama yang menyatakan bahwa Jumatan ganti dari shalat Zuhur, maka apabila seseorang telah meninggalkan ganti sudah barang tentu ia harus kembali ke asli. Pendapat inilah yang kami nyatakan jika dikaitkan dengan statemen bahwa qadhâ` wajib dilakukan berdasarkan nas atau ijmak. Akan tetapi, apabila dinyatakan bahwa wajibnya qadhâ` masih diperselisihkan maka kami pun menjawabnya dengan jawaban yang berlapis. Berikut ini pernyataan kami:

"Pertama, apabila dinyatakan bahwa meninggalkan Jumatan sama seperti meninggalkan shalat Zuhur hingga waktunya habis, maka dalam hal ini hukumnya tetap sama berdasarkan dalil yang telah kami sampaikan. Kedua, apabila dalam kedua perkara itu terdapat perbedaan yang sangat mencolok dampaknya maka kami menyatakan keduanya tidak dapat disamakan. Sebagai akibatnya, kiyas pun tidak dapat diterapkan dalam dua hal yang berbeda 'illah-nya.

-          Adapun pelaksanaan shalat Asar pada Perang Ahzab hingga matahari benar-benar tenggelam, maka dalam hal inilah yang diperdebatkan oleh para ulama. Inti perbedaan tersebut terletak apakah praktik shalat yang dilakukan Nabi s.a.w. itu di-nasakh apa tidak?

Mayoritas ulama sepakat, bahwa praktik shalat yang pernah dilakukan Nabi s.a.w. pada saat Perang Ahzab itu di-nasakh. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Imam Syafii, Ahmad dan Malik, peristiwa tersebut terjadi sebelum turunnya perintah shalat khauf  (kondisi takut), yang kemudian perintah inilah yang me-nasakh praktik shalat Nabi s.a.w. saat Perang Ahzab. Menurut mereka, praktik pengakhiran pelaksnaan shalat Nabi s.a.w. pada saat Perang Ahzab itu sama halnya dengan menjamak dua shalat yang tidak boleh dinyatakan sebagai perbuatan haram. Dengan demikian, beda antara praktik shalat Nabi s.a.w. dengan menjamak shalat itu sama halnya dengan perbedaan antara qadhâ` shalat orang yang lupa atau tertidur dengan qadhâ` shalat yang ditinggal dengan sengaja, bahkan qadhâ` dari shalat yang ditinggalkan karena lupa atau tertidur itu lebih utama, sebab pada pelaksanaannya shalat di luar waktu ini memang diperintahkan. Ini tak ubahnya seperti menjamak shalat Maghrib yang dilaksanakan pada tengah malam saat di Muzdalifah.

Adapun menurut ulama yang lain, praktik Nabi s.a.w. shalat saat Perang Ahzab sama sekali tidak di-nasakh. Bahkan, Sunnah yang dipraktikkan  Rasulullah s.a.w. pada saat itu terus berlaku. Maka, apabila seseorang terlibat dalam sebuah pertempuran di tengah gemerincing sabetan pedang, ia dibolehkan mengakhirkan shalat ketika ada kesemapatan untuk melaksanakannya. Inilah pendapat yang dinyatakan oleh Abu Hanifah dan, katanya, Imam Ahmad pun menyatakan yang demikian dalam satu riwayatnya.

Berdasarkan paparan kedua pendapat tersebut di atas, menyamakan qadhâ` shalat karena lupa dengan qadhâ` shalat—yang memang ada perintah untuk melakukan qadhâ`—adalah    hal yang tidak dibenarkan.

Demikian halnya dengan qadhâ` shalat Asar yang dilakukan oleh para Sahabat di Bani Quraizhah, menurut sebagaian ulama, memang perintah qadhâ` shalat itulah yang diperintahkan, sebagaimana yang dinyatakan oleh Mazhab Zhahiri. Sementara menurut para ulama lain, perintah melakukan qadhâ` di Bani Quraizhah itu tidak berarti menutup kemungkinan untuk ditakwili. Makanya,  Rasulullah s.a.w. tidak mempersalahkan para Sahabatnya yang shalat di tengah jalan tepat waktu, dan terhadap para Sahabat yang mematuhi perintahnya dan shalat Asar di Bani Quraizhah ketika malam menjelang, beliau juga tidak mempersalahkan mereka. Hal ini disebabkan, mereka yang shalat di Bani Quraizhah berpegang kepada makna tekstual perintah, sementara mereka yang shalat di tengah jalan tepat waktu memahami kontekstual perintah Nabi s.a.w., yang artinya mereka disuruh cepat-cepat sampai di Bani Quraizhah.

Para ulama yang tidak terlibat dalam perdebatan ini juga berbeda pendapat mengenai masalah ini. Mereka pun juga terbagi dalam dua kelompok.

Pertama, andaikata kami mengikuti Sahabat yang shalat di jalan, niscaya kami pun juga akan mengikuti mereka beserta pemahaman mereka terhadap maksud perintah Nabi s.a.w. Hal ini disebabkan, dengan mengikuti kelompok Sahabat ini maka kami telah memadukan antara pelaksanaan shalat tepat waktu dan mempercepat perjalanan menuju Bani Quraizhah. Sebagaimana yang dijelaskan, dalam peristiwa tersebut mereka pun tidak tertinggal terlalu jauh. Bahkan, ketika rombongan Sahabat yang shalat di jalan juga sampai di Bani Quraizhah ketika rombongan yang tidak shalat di jalan sedang melaksanakan shalat.

Kemudian, pendapat tersebut dikomentari oleh para ulama yang tidak mewajibkan qadhâ` bahwa mereka adalah orang-orang yang lebih alim dan lebih paham di antara dua kelompok ini. Dengan melakukan shalat tepat waktu di tengah perjalanan berarti mereka telah memadukan antara mematuhi perintah, melakukan ijtihad serta bersegera dalam berjihad berdasarkan pemahaman diri.

Kedua, lain lagi dengan kelompok ulama yang lain. Mereka menyatakan, andaikata kami bersama mereka niscaya kami akan mengakhirkan shalat hingga kami sampai di Bani Quraizhah. Sudah barang tentu mereka inilah yang menepati hukum Allah, dan mengakhirkan shalat Asar itulah yang wajib berdasarkan perintah  Rasulullah s.a.w. Ini tidak lain merupakan ketaatan yang memang berlaku khusus pada hari itu. Bukankah Allah s.w.t. memerintahkan dengan sekehendak-Nya? Maka, baik mengakhirkan atau mendahulukan juga sama-sama perintah Allah, dan mematuhinya pun juga disebut dengan ketaatan. Jadi, ketika Allah s.w.t. memerintahkan untuk mengakhirkan juga harus ditaati. Mereka inilah orang yang paling bahagia karena menaati nas, dan tentu saja mereka inilah yang mendapatkan dua pahala. Namun demikian, ini bukan berarti kelompok lain salah karena ijtihad dan takwil mereka. Mereka pun juga berusaha taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Hanya saja, mereka mendapatkan satu pahala. Ini sama persis dengan seorang hakim yang memberi putusan yang kemudian salah. Dengan demikian, menurut mereka, menyamakan antara orang yang menyepelekan shalat dengan orang yang tertidur atau lupa adalah hal yang salah.

-          Setiap orang yang bertaubat mempunyai jalannya masing-masing. Lantas mengapa jalan itu ditutup sehingga mereka terus dihantui rasa dosa? Demikian pernyataan kalian. Terkait pernyataan kalian ini, kami berlindung kepada Allah apabila kami telah menutup jalan yang dibuka lebar-lebar bagi seluruh hamba-Nya yang berdosa. Seorang pun tidak berhak menutupnya hingga dirinya mati atau ketika matahari telah terbit dari barat. Hanya saja, yang kami permaslahkan di sini adalah cara taubatnya; apakah seseorang harus meng-qadhâ` shalatnya atau membiarkan saja tanpa qadhâ` dan memperbanyak amal saleh? Apakah ia dihukumi seperti taubatnya orang kafir yang amal buruknya di masa lalu di hapus, sementara amal yang dilakukan setelah taubat itulah yang diterima? Hal ini disebabkan, barangsiapa yang meninggalkan satu kewajiban agama maka sama halnya ia telah keluar dari Islam. Jika memang taubat orang murtad diterima dan sah, lantas untuk apa lagi ia harus mengulangi kewajiban agama yang sengaja dia tinggalkan? Padahal, para Sahabat sepakat, orang-orang yang murtad tidak dituntut untuk meng-qadhâ` shalat yang mereka tinggalkan. Jadi, diterimanya taubat orang yang sengaja meninggalkan shalat tentunya lebih utama daripada seorang murtad secara keseluruhan. Lebih dari itu, dari sisi keabsahan dan diterimanya taubat orang yang sengaja meninggalkan shalat ini pun tidak ada kaitannya dengan qadhâ` shalat. Wallahu A'lam. [*]

 



[1] Bahkan qadhâ` ini sedikit pun bukan hal yang dapat ia lakukan. Kalaupun ia mengganti shalat yang telah dilanggarnya, maka mana mungkin ia dapat mengganti shalat itu sama persis dengan shalat yang ditinggalkannya? Hal ini disebabkan, syarat yang menjadikan shalat wajib itu sah adalah waktu pengerjaannya yang telah ditentukan. Sementara, dalam kasus ini shalat yang dilakukannya itu telah dan benar-benar berada di luar waktu. Oleh karena ia sengaja meninggalkan shalat yang telah ditentukan waktunya, maka waktu pengerjaan yang menjadi syarat sah shalat telah lewat dan hilang, yang pada kelanjutannya menjadikan dirinya kafir. Maka, jalan satu-satunya untuk kembali pada ke-Islamannya bukan lain adalah bertaubat dengan sungguh-sungguh dan kembali ke pangkuan agama Islam.           

[2] HR. Bukhari ("Kitâb Mawâqit ash-Shalâh", "Bâb Man Nasiya Shalâtan", jil.2, hlm.58), Muslim ("Kitâb al-Masâjid", "Bâb Qadhâ` ash-Shalâh al-Fâ`itah Wa Istihbâb Ta;jîl Qadhâ`iha", hadis no.684), Abu Daud ("Kitâb ash-Shalâh", "Bâb Man Nâma 'An ash-Shalâh Aw Nasiyaha", hadis no.442), Nasa`i ("Kitâb al-Mwâqit", "Bâb Fî Man Nasiaya 'An Shalâh", jil.2, hlm.293), Tirmidzi ("Kitâb ash-Shalâh", "Bâb Mâ Jâ`a Fî ar-Rajul Yansa ash-Shalâh", hadis no.178) Ahmad (al-Musnad, jil.3, hlm.100 dan 243 dan jil.5, hlm.22), dan al-Baghawi (Syarh as-Sunnah, "Kitâb ash-Shalâh", "Bâb Qadhâ` al-Fâ`itah", hadis no.393).          

[3] HR. Muslim ("Kitâb Al-Hajj", "Bâb Fardh al-Hajj Marratan Fî al-'Umr", hadis no.1337) dan Nasa`i ("Kitâb al-Hajj", "Bâb Wujûb al-Hajj", jil.5, hlm.110).  

[4] HR. Bukhari ("Kitâb al-Mawâqît", "Bâb Man Shalla Bi an-Nâs Jamâ'atan Ba'da Dzihâb al-Waqt", jil.2, hlm.55 dan "Kitâb al-Maghâzi," "Bâb Ghazwah al-Khandzâq"), Muslim ("Kitâb al-Masâjid", "Bâb ad-Dalîl Liman Qâl Shalâh al-Wusthâ Hiya Shalâh al-'Ashr ", hadis no.631), Tirmidzi ("Kitâb ash-Shalât", "Bâb Mâ Jâ`a Fî ar-Raajul Tufawwituhu ash-Shlawât Ya`tiyahunna Yabda`", hadis no.180), Nasa`i ("Kitâb as-Sahw", "Bâb Idzâ Qîla Li ar-Rajul Hal Shallayta Hal Yaqûlu Lâ ", jil.3, hlm.84).    

[5] HR. Bukhari ("Kitâb Mawâqît ash-Shalâh", "Bâb Man Taraka Shalâh al-'Ashr " dan "Bâb at-Takbîr Fî ash-Shalâh al-Ghayyim",  jil.2, hlm.26), Nasa`i ("Kitâb ash-Shalâh ", "Bâb Man Taraka Shalâta al-'Ashr", jil.1, hlm.236), al-Baghawi (Syarh as-Sunnah, hadis no.369) Ahmad (al-Musnad, jil.5, hlm.350 dan 360), al-Baihaqi (jil.1, hlm.444) dan ath-Thayalisi (Musnad ath-Thayalisi, hadis no.810).   

[6] HR. Bukhari ("Kitâb Mawâqît ash-Shalâh", "Bâb Itsmu Man Fâtathu al-'Ashr", jil.2, hlm.24), Muslim ("Kitâb al-Masâjid", "Bâb at-Taghlîth Fî Tafwît Shalâta al-'Ashr", hadis no.626), Malik, (Al-Muwaththa` , jil.1, hlm.11) Abu Daud ("Kitâb ash-Shalâh", "Bâb Waqt Shalâh al-'Ashr", hadis no.414 dan 416), Tirmidzi ("Kitâb ash-Shalâh", "Bâb Mâ Jâ`a Fî as-Sahw 'An Shalâh al-'Ashr", hadis no.175), Nasa`i ("Kitâb ash-Shalâh" dan "as-Safar", "Bâb 'Adad Shalâh al-'Ashr", jil.1, hlm.238), Ahmad (al-Musnad, jil.2, hlm.54 dan 134 dan jil.5, hlm.429), al-Baghawi (Syarh as-Sunnah, hadis no.370) dan ath-Thayalisi (Musnad ath-Thayalisi, hadis no.1803), dan al-Baihaqi (Sunan al-Baihaqi, jil.1, hlm.445).           

[7] HR. Bukhari (secara mu'allaq, yaitu meriwayatkan hadis dengan membuang sanad satu atau lebih; "Kitâb al-Buyû'", "Bâb an-Najasy", jil.4, hlm.298), Muslim ("Kitâb al-Aqdhiyyah", "Bâb Naqd al-Ahkâm al-Bâthilah", hadis no.1718), Abu Daud ("Kitâb as-Sunnah", "Bâb Luzûm as-Sunnah", hadis no.4606), Ahmad (al-Musnad, jil.6, hlm.146, 180 dan 256), Ibnu Majah ("Kitâb al-Muqaddimah", "Bâb Radd al-Bida' wa Al-Ahwâ`", hadis no.14), al-Baihaqi (Sunan al-Baihaqi, jil.10, hlm.119 dan 150 dan 251), Abu Ya'la (Musnad Abi Ya'la, hadis no.4594), dan ath-Thayalisi (Musnad ath-Thayalisi, hadis no.1422).          

[8] Bahkan, bisa dibilang syarat waktu inilah yang paling penting. Hal ini didasarkan pada suatu kenyataan, jika yang terhalang itu adalah syarat bersuci dengan air, maka Allah s.w.t. menjadikan tayamum sebagai ganti syarat bersuci dengan air. Terlebih menutup aurat dan mengahdap kiblat, dalam kenyataannya dua syarat ini bisa ditolelir dalam kondisi tertentu. Sekarang begaimana dengan waktu pelaksanaan, apakah ia ditolelir seperti syarat-syarat yang lain?      

[9] Dalam hal ini, Ibnu Qayyim hanya menyampaikan paparan argumen yang disamapaikan oleh para ulama yang membatalkan kada. Maksudnya, apa yang beliau sampaikan di sini bukan mewakili pendapatnya terkait masalah yang disengketakan oleh kedua kelompok. (pent).    

[10] HR. Ahmad (al-Musnad, jil.2, hlm.386, 442 dan 458). Hadis ini juga diriwayatkan oleh Bukhari secara mu'allaq (jil.4, hlm.139) dengan mengguinakan format tamrîdh. Maksudnya, beliau meredakiskan hadis ini dengan redaksi; "Barangsiapa berbuka satu hari pada bulan Ramadhan bukan karena sakit, maka satu hari itu tidak akan dapat diganti meskipun dengan berpuasa satu tahun". Kemudian, beliau berkata, "Dalam sanad hadis ini terdapat Abu Mathus, yang nama lengkapnya adalah Yazid ibn Mathus. Kami tidak mengetahui hadis lain yang dia riwayatkan, melainkan satu-satunya hadis ini."    

Hadis juga diriwayatkan oleh para imam hadis semisal; Abu Daud ("Kitâb ash-Shaum", "Bâb at-Taghlîzh Fî Man Afthara 'Amdan", hadis no.2396), Tirmidzi ("Kitâb ash-Shaum", "Bâb Mâ Jâ`a Fî al-Ifthâr Muta'ammidan", hadis no.723. Beliau menyatakan, Hadis ini riwayat Abu Hurairah r.a., dan kami tak tahu lagi apa ada hadis lain yang redaksinya seperti ini.), Ibnu Majah ("Kitâb ash-Shaum", "Bâb Mâ Jâ`a Fî Kafârah Yaum Man Afthara Fî Ramadhân, hadis no.1672), al-Baghawi (Syarh as-Sunnah, hadis no.1753), ad-Darimi (jil.2, hlm.10) dan al-Baihaqi (Sunan al-Baihaqi, jil.4, hlm.228).           

[11] Lihat takhrîj hadis ini di catatan kaki no.272. 

[12] HR. Muslim ("Kitâb al-Masâjid", "Bâb Qahâ` ash-Shalâh al-Fâ`itah Wastihbâbu Ta'jîli Qahâ`ihâ", hadis no.681), Abu Daud ("Kitâb ash-Shalâh ", "Bâb Man Nâma 'An ash-Shalâh Aw Nasiyaha", hadis no.438), Tirmidzi ("Kitâb ash-Shalâh", "Bâb Mâ Jâ`a Fî an-Naum 'An ash-Shalâh", hadis no.177), dan Nasa`i ("Kitâb al-Mawâqît", "Bâb Man Nâma 'An ash-Shalâh ", jil.1, hlm.94).    

[13] Lihat takhrîj hadis ini di catatan kaki no.272. 

[14] Washf mu`atstsir dinyatakan sebagai sifat yang berpengaruh langsung bagi adanya hukum. Khamr, misalnya, ia dinyatakan sebagai barang haram karena unsur memabukkan. Jadi, yang membuat khamr haram bukanlah nama "khamr", tetapi "unsur memabukan" yang terdapat dalam khamr. Maka, kalau ada jenis minuman lain yang memabukkan maka hukumnya haram meskipun bukan disebut "khamr".

Dalam masalah yang diperdebatkan ini, menurut kelompok ini, washf mu`atstsir antara ashl  dan far'-nya yang berbeda. Jika qadhâ` shalat yang dilakukan oleh orang yang lupa atau tidur dinyatakan sah dan menggugurkan kewajiban, karena memang Syâri' menyatakan demikian, maka bagaimana halnya dengan orang yang melakukan qadhâ` shalat karena sengaja meninggalkannya? Dengan kata lain, apakah ada perintah Syâri' yang menyatakan bahwa orang yang sengaja meninggalkan shalat harus qadhâ` shalat sehingga kewajiban gugur dengan dilaksankannya qadhâ`? Kalau memang ada maka kiyasnya sahih, tetapi kalau tidak ada maka inilah kiyas yang salah. Wallahu A'lam (penj).               

[15] Akan lebih tepat jika ketiadaan ganti dosa sengaja meninggalkan shalat itu sebagai hukuman dan pembatasan hak dirinya sebagai seorang muslim. Orang yang sudah demikian, tidak akan pernah lepas dari dosanya kecuali ia bertaubat kembali ke pangkuan Islam dan menggunakan kesempatan yang masih diberikan Allah s.w.t. untuk memperbanyak amal ketaatan agar sampai kepada Dzat yang Maha Pengasih lagi Penyayang. Selain itu, ia juga diharuskan untuk memperbanyak munajat kepada Allah dan memohon agar kesalahannya diampuni dan dijadikan sebagai orang-orang yang beruntung.     

[16] Allah s.w.t. menyebutkan qadhâ` puasa Ramadhan khusus bagi orang yang bepergian atau sakit yang dilakukan pada hari-hari yang lain. Sementara itu, Dia tidak menyebutkan qadhâ` shalat kecuali bagi orang yang lupa atau tertidur. Pada sisi lain Nabi s.a.w. juga menuturkan bahwa wanita haid tidak meng-qadhâ` shalat yang ia tinggalkan di saat ia haid. Dalam firman-Nya Allah s.w.t. menyatakan bahwa orang-orang yang menyia-nyiakan shalat berarti telah berbuat kemusyrikan. Dia berfirman, "... serta dirikanlah shalat dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah." (Ar-Rûm: 31). Dia juga berfirman bahwa orang yang meninggalkan shalat termasuk orang-orang yang mendustakan Al-Qur'an dan hari akhirat, "Orang-orang yang beriman kepada adanya kehidupan akhirat tentu beriman kepadanya (Al-Qur'an) dan mereka selalu memelihara shalatnya." (Al-An'âm: 92). Dan, mereka akan mendapatkan kecelakaan karena mereka telah mendustakan hari akhirat. Allah s.w.t. berfirman, "Kecelakaan yang besarlah pada hari itu bagi orang-orang yang mendustakan, dan apabila dikatakan kepada mereka, 'Rukuklah, niscaya mereka tidak mau rukuk.'" (Al-Mursalât: 47—48).

 

 


Tidak ada komentar: