Jumat, 22 Juli 2011

Pembacaan Hadits Ba'da Isya 21072011

SESEORANG  YANG  MENINGGAL  DUNIA  DAN  MASIH MEMPUNYAI  TANGGUNGAN  PUASA
 
            Apabila seseorang meninggal dunia, sedangkan dia masih mempunyai tanggungan untuk mengqadha' shalat yang pernah ditinggalkan, menurut ijma' ulama, tidak sorangpun dibolehkan mengqadha shalat yang ditinggalnya, baik wali (orang yang masih memiliki hubungan darah) maupun orang lain. Demikian pula, seseorang yang tidak mampu berpuasa, tidak seorangpun yang dibolehkan menggantikan puasanya jika dia masih hidup. Tetapi, jika dia sudah meninggal dunia, sedangkan dia masih mempunyai tanggungan untuk mengqadha'  puasa yang pernah ditinggalkan dan sebelum kematiannya dia mampu untuk puasa, dalam hal ini, para ulama berselisih pendapat mengenai hukumnya. Menurut mayoritas ulama, diantaranya Abu Hanifah, Malik, dan Syafi'i dan ini termasuk pendapat yang masyhur, keluarganya tidak dibolehkan menggantikan puasa, namun dia diharuskan memberikan satu mud makanan untuk setiap hari sebanyak hari yang ditinggalkan.
            Pendapat yang kuat menurut mazhab Syafi'i, keluarganya dianjurkan menggantikan puasa sesesorang yang meninggal dunia supaya siorang yang sudah meninggal dunia terbebas dari kewajiban. Dan keluarganya tidak perlu membayar fidyah dengan memberikan makanan (kepada fakir miskin). Masuk dalam kategori wali adalah sanak kerabat, baik kedudukannya sebagai ashabah (ahli waris utama,seperti anak) atau ahli waris biasa atau yang lainnya.
            Seandainya ada orang lain yang bersedia menggantikan puasanya, maka apa yang dilakukan nya sah jika mendapat persetujuan dari keluarganya. Jika tidak, maka puasanya tidak sah. Para ulama berpedoman pada hadits yang diriwayatkan oleh Akhmad, Bukhari dan Muslim dari Aisyah, bahwa Rasulullah bersabda : "Siapa yang meninggal dunia sedangkan dia masih mempunyai kewajiban puasa, hendaknya wali (keluarga)nya menggantikan puasanya". Bazzar menambahkan dengan redaksi "jika dia mau".
            Imam Bukhari, Muslim, Akhmad, Tirmidzi, Nasa'i, Abu Daud dan Ibnu Majah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa seorang laki-laki menemui Rasulullah lalu bertanya, wahai Rasulullah, ibuku sudah meninggal dunia, padahal dia masih mempunyai kewajiban untuk membayar puasa selama satu bulan, apakah aku diperbolehkan untuk menggantikannya ?. Beliau bersabda, "Seandainya ibumu mempunyai hutang, apakah engkau juga membayar hutangnya ?". Dia menjawab iya. Rasulullah SAW lantas bersabda : "Maka, hutang kepada Allah lebih berhak untuk ditunaikan".
            Imam Nawawi berkata : 'Pendapat inilah yang benar dan terkuat yang juga menjadi pegangan kami'. Pendapat ini diakui sebagai pendapat yang paling  kuat oleh penganut mazhab kami, yang mana mereka adalah para ulama fikih.

KETENTUAN  WAKTU  BAGI  NEGARA-NEGARA  YANG WAKTU SIANG  LEBIH PANJANG  DARIPADA  WAKTU  MALAM
 
            Para ulama fikih berbeda pendapat mengenai ketentuan waktu bagi negara-negara yang waktu siangnya lebih panjang ketimbang waktu malamnya. Negara manakah yang dijadikan patokan bagi penduduk negara yang mempunyai iklim seperti ini ?.
            Ada yang berpendapat, untuk menetapkan waktu, mereka harus berpedoman pada negara tempat turunnya syari'at Islam, yaitu Mekkah dan Madinah. Namun ada pula pendapat yang mengatakan, mereka berpedoman pada negara tetangga yang terdekat.
 
Fiqih Sunnah II – Sayyid Sabiq®

Tidak ada komentar: