Rabu, 20 Juli 2011

Pembacaan Hadits Ba'da Isya 19072011

MENGQADHA'  PUASA  RAMADHAN
 
            Mengqhadha' puasa Ramdhan tidak wajib dilakukan dengan segera. Mengqadha' puasa Ramdhan memang diwajibkan, ia juga memiliki kelapangan waktu sesuai dengan kondisi seseorang. Demikian halnya dengan membayar kifarat.
            Dalam sebuah hadits shahih yang bersumber dari Aisyah, bahwasanya dia pernah mengqadha' puasa Ramadhan yang pernah ditinggalkannya. Dia mengqadha'nya di bulan Sya'ban dan tidak mengqadha'nya dengan segera, padahal dia bisa melakukannya.
            Mengqadha' sama halnya dengan mengerjakan ibadah secara langsung sesuai dengan waktunya. Dengan kata lain, orang yang meninggalkan puasa beberapa hari, hendaknya mengganti sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, tanpa ada tambahan yang lain. Yang menjadi perbedaan antara qadha'  dengan pelaksanaan langsung adalah bahwa qadha' tidak perlu dilakukan dengan segera.
Hal ini berdasarkan firman Allah SWT.,
            "Maka barangsiapa diantara kamu ada yang  sakit atau dalam perjalanan (lalu ia tidak berpuasa), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain."  (Al-Baqarah [2]:184)
            Dengan kata lain, orang sakit atau bepergian lalu berbuka, hendaknya berpuasa sebanyak hari yang ditinggalkan. Hal ini boleh dilakukan secara berturut-turut ataupun tidak. Dalam hal ini, Allah memberi kebebasan dan tidak memberi ketentuan secara berurutan.
            Daruquthni meriwayatkan dari Ibnu Umar., bahwasanya Rasulullah bersabda mengenai cara mengqadha' puasa Ramadhan.
            "Jika mau, dia boleh melakukannya secara terpisah. Dan jika mau, dia boleh  melakukannya secara berurutan."
            Jika seseorang menangguhkan dalam mengqadha' sampai bulan Ramdhan yang berikutnya tiba, hendaknya dia puasa untuk bulan Ramadhan yang baru tiba dan setelah itu, hendaknya dia mengqadha' puasa yang ditinggalkan pada tahun sebelumnya dan tidak diwajibkan membayar fidyah, baik penangguhan tersebut disebabkan adanya halangan ataupun tidak. Pendapat ini dikemukakan dalam mazhab Hasan al-Bashri dan mazhab Hanafi.
            Imam Malik, Syafi'i, Ahmad dan Ishaq setuju dengan mazhab Hanafi bahwa tidak ada kewajiban membayar fidyah jika penangguhan tersebut disebabkan adanya halangan. Tapi, mereka berbeda pendapat dengan mazhab Hanafi, jika penangguhan tersebut  dilakukan bukan karena adanya halangan. Menurut mereka, hendaknya orang yang mengqadha' puasa pada bulan Ramadhan yang sedang dijalani, kemudian mengqadha' puasa yang ditinggalkan pada tahun sebelumnya disertai membayar fidyah, yaitu dengan memberi makan kepada orang miskin sebanyak satu mud setiap hari sebanyak jumlah puasa yang ditinggalkan. Meskipun demikian, mereka tidak mengemukakan dalil yang dapat dijadikan sebagai hujjah. Oleh karena itu, menurut pendapat mazhab Hanafi, dan pendapat ini termasuk pendapat paling kuat, tidak ada kewajiban dalam syariat yang harus dilakukan tanpa berlandaskan pada dalil yang shahih.
 

Tidak ada komentar: