Sabtu, 06 Oktober 2012

Pembacaan Hadits Ba'da Isya' 04102012

MEMERINTAHKAN  YANG  MA'RUF  DAN
MENCEGAH  YANG  MUNKAR
 
( lanjutan................
           
Yang jelas bahwa emas itu dibutuhkan oleh perempuan, dalam rangka mempercantik diri untuk suaminya, sedangkan laki-laki tidak membutuhkannya. Tidaklah ia berhias dengan emas untuknya atau untuk orang lain, kecuali antara dia dan istrinya, mereka saling menghiasi diri, karena hal ini dapat menciptakan keakraban. Walau bagaimanapun juga, seorang lelaki tidak diperbolehkan memakai emas. Adapun memakai perak, maka tidaklah mengapa. Seorang laki-laki boleh memakai cincin dari perak, tetapi dengan syarat tidak ada keyakinan pada cincin tersebut, sebagaimana yang dilakukan sebagian orang yang mengambil kebiasaan orang Nasrani dalam masalah cincin tunangan, yang saling dipakaikan dalam pernikahan. Dalam tukar cincin, mereka berkata, "Orang Nasrani, jika seorang lelaki di antara mereka ingin menikah, maka datanglah seorang pendetanya – seperti kedudukan orang alim – lalu mengambil cincin dan meletakkannya di jari lelaki tersebut, kemudian ia berkata, "Ini adalah ikatan antara kamu dan istrimu". Jika seseorang berkeyakinan seperti ini, maka ia menyerupai orang-orang Nasrani yang diliputi oleh akidah yang batil, maka pada saat ini seseorang tidak boleh memakai cincin kawin tersebut.[52]
 
Adapun jika ia memakai cincin tanpa ada keyakinan tertentu, maka tidaklah mengapa, memakai cincin bukanlah perkara yang disunnahkan, tetapi ia dari perkara-perkara yang apabila dibutuhkan, maka dilakukan dan jika tidak dibutuhkan ia ditinggalkan. Dengan dalil bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam tidak memakai cincin, akan tetapi ketika dikatakan kepada beliau bahwa sesungguhnya para raja dan para pemimpin tidak akan menerima surat yang tidak ada stempelnya, maka beliau membuat cincin yang dipahat dari perak yang bertuliskan Muhammad Rasulullah, jika telah selesai menulis surat, maka beliau memberi stempel dengan cincinnya tersebut. Didalam hadits ini juga terdapat dalil yang menunjukkan bolehnya menggunakan cara keras untuk mengubah kemunkaran jika memang diperlukan, karena Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam tidak mengatakan kepadanya. "Sesungguhnya emas itu haram, janganlah dipakai", atau lepaskanlah. Akan tetapi, beliau dengan sendirinya melepas cincin tersebut dan melemparnya ke tanah, diketahui bahwa disini ada perbedaan antara memerintahkan kema'rufan dan melarang dari kemungkaran dengan mengubah kemungkaran. Karena mengubah kemungkaran itu harus orang yang memiliki kekuatan dan kemampuan, seperti seorang gubernur yang mengubah perilaku masyarakatnya, atau seperti seorang suami di rumahnya, atau seorang istri dengan anak-anaknya dan lain sebagainya. Inilah yang memiliki kekuasaan yang mampu mengubah dengan tangannya, jika ia tidak mampu, maka ubahlah dengan lisannya, dan jika tidak mampu, maka ubahlah dengan hatinya.
 
Adapun perintah, maka hal itu diwajibkan pada setiap kondisi. Memerintahkan kebaikan dan melarang kemungkaran wajib dalam setiap keadaan. Karena hal ini tidak mengharuskan perubahan, tetapi hanya perintah dan larangan saja. Dan di sini juga termasuk mengajak berbuat baik dan meninggalkan kemungkaran, berarti ada tingkatan berdakwah; memerintahkan, melarang, dan mengubah. Adapun dakwah, maka dia seperti seorang yang berkhutbah, memberi mereka nasehat, memperingatkan mereka dan mengajak mereka kepada petunjuk. Adapun perintah, berarti memerintahkan sesorang dengan berhadapan langsung dengan orang atau kelompok tertentu seperti ucapan, "Ya Fulan, jagalah shalat, tinggalkanlah berbuat dusta, tinggalkanlah ghibah, dan lain sebagainya". Adapun perubahan, yakni seseorang mengubah sesuatu, menghilangkan kemungkaran dengan mengubahnya menjadi kebaikan, seperti yang dilakukan Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam ketika melepaskan cincin dari pemiliknya dan melemparkannya ke tanah. Didalam hadits ini juga terdapat dalil diperbolehkannya melenyapkan sesuatu yang menyebabkan kemungkaran. Karena Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam pernah melempar cincin setelah melepaskannya dari tangan pemiliknya, beliau tidak mengatakan padanya, "Ambillah cincin tersebut dan berikanlah kepada Istrimu", misalnya. Hal ini dikarenakan orang tersebut paham ketika dikatakan kepadanya, "Ambillah cincinmu itu", Ia berkata, "Aku tidak akan mengambil cincin yang telah dilemparkan oleh Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam", karena ia paham bahwa hal ini termasuk dalam bab teguran dan penghancuran terhadap kemungkaran, karena telah terjadi kemaksiatan. Sesuatu yang dapat mendatangkan kemaksiatan atau meninggalkan kewajiban, maka tidaklah berdosa apabila seseorang melenyapkannya sebagai balasan dari dirinya, sebagaimana yang dilakukan Nabiyullah Sulaiman Alaihissalam, ketika ditampakkan kepadanya seekor kuda yang sangat bagus lalu beliau bermain-main dengan kuda itu sampai terbenam matahari, beliau disibukkan dengan kuda tersebut hingga lupa shalat Ashar, kemudian beliau memanggil kudanya lalu memukulinya dan menyembelih lehernya. Sebagaimana firman Allah,
 
"Lalu ia mengusap-usap kaki dan lehernya". (QS. Shaad : 33)
 
Beliau melenyapkannya sebagai sangsi terhadap dirinya demi ridha Allah Ta'ala. Jika seseorang melihat hartanya dapat memalingkan ketaatannya kepada Allah, kemudian ia ingin menghancurkannya sebagai balasan dari dirinya dan sebagai teguran terhadapnya, maka hal ini tidaklah mengapa. Dalam hadits ini terdapat dalil bahwa orang (laki-laki) yang memakai emas wajib mendapatkan azab api neraka. Na'udzu Billah. Berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, "Salah seorang kalian bersengaja mengambil bara api neraka dan menyalakannya pada tangannya". Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam menjadikan cincin ini sebagai bara api neraka, yakni seseorang akan diazab dengan cincinnya sendiri pada hari kiamat. Azab ini hanyalah sebagian, yakni hanya sebagian badan yaitu bagian badan yang dijadikan sebagai penentang syariat. Perbandingannya seperti sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam terhadap orang yang memanjangkan celananya sampai melebihi mata kaki, "Apa yang melebihi mata kaki, maka dia itu di neraka" [53]. Perbandingannya juga seperti sabda beliau perihal kelalaian sahabat dalam mencuci bagian kakinya ketika wudhu, beliau bersabda, "Celakalah tumit kaki itu dari api neraka"[54]. Inilah tiga nash dari As-Sunnah yang semuanya menetapkan bahwa sesungguhnya azab neraka itu terkadang berkisar pada bagian tubuh tertentu. Dalam Al-Qur'an juga terdapat nash yang menerangkan hal itu, seperti firman Allah,
 
"Pada hari dipanaskan emas perak itu di dalam neraka Jahanam, lalu dibakarnya dahi mereka, lambung dan punggung mereka". (QS. At-Taubah : 35)
 
            Yakni, tempat-tempat tertentu. Azab sebagaimana bersifat umum untuk seluruh badan, juga bersifat khusus yang hanya menimpa sebagian anggota tubuh saja yang menyimpang.
 
            Di antara faedah hadits ini, yaitu penjelasan tentang kesempurnaan kejujuran iman para sahabat, karena laki-laki ini ketika dikatakan kepadanya "Ambillah cincinmu dan manfaatkanlah", ia menjawab, "Saya tidak akan mengambilnya, setelah Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam melemparkannya". Ini adalah bukti kejujuran imannya, sebab jika imannya lemah, maka ia akan mengambilnya dan memanfaatkannya dengan menjualnya, atau memberikannya pada istrinya atau yang serupa dengan ini.
 
            Di antar faedah hadits ini juga bahwa ada seseorang yang mempergunakan hikmah di dalam mengubah kemungkaran, orang ini sebagaimana anda ketahui bahwa Nabi Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam mempergunakan sedikit kekerasan padanya, tetapi terhadap seorang Arab badui yang kencing di masjid, beliau tidak mempergunakan kekerasan, barangkali Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam tahu bahwa orang yang memakai cincin emas itu mengetahui tentang hukum keharamannya namun ia menyepelekannya, berbeda dengan orang badui, ia adalah seorang yang bodoh dan tidak berpengetahuan, datang ke masjid lalu menemukan ruang terbuka, kemudian ia kencing disana, ia menyangka bahwa ia berada di tempat terbuka!! Ketika para sahabat berdiri untuk mencegahnya, Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam melarang hal itu. Demikian juga Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam mempergunakan cara yang lembut kepada Muawiyah bin Al-Hakan As-Sulami ketika ia berbicara dalam shalat, demikian juga terhadap seseorang yang menjima' istrinya pada siang hari bulan Ramadhan, karena setiap tempat pasti ada sebutannya. Maka Anda wahai saudara muslim, hendaknya mempergunakan hikmah di setiap apa yang Anda lakukan dan Anda ucapkan. Allah Ta'ala berfirman dalam kitab-Nya,
 
"Allah memberikan hikmah kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang diberi hikmah, sungguh telah diberi kebajikan yang banyak. Dan tak ada yang dapat mengambil pelajaran kecuali orang-orang yan berakal".
(QS. Al-Baqarah : 269)
 
            Kita memohon kepada Allah agar menjadikan kita sebagai orang-orang yang diberikan hikmah, yang dengannya kita mendapatkan banyak kebaikan.
 
[52].        Yakni, jika seseorang berkeyakinan bahwa cincin kawin ini adalah salah satu dari syiar perkawinan dan tidak baik perkawinan tanpanya, maka ia benar-benar telah jatuh pada suatu yang diharamkan, baik cincin kawin itu emas atau  perak. Ini dari sisi sebagian orang yang berkeyakinan rusak yang menyertai perkara tersebut terkhusus bagi seorang perempuan, yakni adanya sifat pesimis ketika seorang suami melepaskan cincinnya, maka ini pertanda akan terjadi perpisahan (cerai) atau terjadinya permasalahan. Hakikatnya, bahwa sebab masalah itu terdapat pada keyakinan yang rusak ini, disertai juga dengan kerusakan yang lain yang merusak perkawinan, yakni berdua-duaannya seorang laki-laki dengan perempuan pinangannya selama masa lamaran. Memandangnya tanpa hijab syar'i bahkan sampai terjadi hubungan seakan-akan mereka suami istri yang mengarah pada mukaddimah jima', bahkan dan bukan hal yang sedikit mereka dijerumuskan setan pada zina, dengan hujjah bahwa mereka akan segera menikah dalam waktu dekat, dan seterusnya dari musibah-musibah dan bala yang banyak tersebar di masyarakat muslim, semoga Allah menolong kita, untuk mengetahui lebih dalam tentang masalah cincin kawin, silahkan merujuk pada buku Adab Az-Zafaaf yang dikarang Al-Alamah Al-Bani Rahimahullah (140-142)
[53].        Shahih Al-Bukhari (5787) dan hadits Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu.
[54].        Shahih Al-Bukhari (60, 96, 163) dan Muslim (241) dari hadits Abdullah bin Amr Radhiyallahu Anhuma.
 
( berlanjut ................
SyarahRiyadhus Shalihin®

Tidak ada komentar: